Selasa, 01 Jul 2025
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 13 Semarang

Hakikat Cinta dan Pengorbanan

Hakikat Cinta dan Pengorbanan

Ustadz Hadi A. Rosyid

Tinjauan Historis

Pada setiap tanggal 10 dzulhijjah umat muslim merayakan idul adha atau idul qurban atau  lebaran haji, karena bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci, Makah. Di hari tersebut dan hari tasyrik tanggal 11, 12, 13 dzulhijah umat muslim diwajibkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan qurban dan dagingnya dibagikan kepada yang membutuhkan.

Sejarah berqurban berawal dari peristiwa Nabi Ibrahim AS yang telah memasuki usia 86 tahun namun beliau belum juga dikaruniai seorang anak. Lantas beliau berdo’a kepada Allah Swt  “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (Lihat QS Ash-Shafaat : 100). Kemudian Allah mengabulkan do’a tersebut dengan memberikan kabar gembira akan lahir seorang anak dari istrinya yang bernama Siti Hajar. Nabi Ibrahim AS sangat bersyukur atas kelahiran putra Ismail. Ketika Ismail menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah Swt melalui mimpinya untuk menyembelih putra tercintanya. Mimpi itu tentu membuatnya gundah gulana. Dengan berat hati beliau menyampaikan mimpi tersebut kepada Ismail dan meminta pendapatnya. Ismail menjawab dengan penuh ketaatan ” Hai Bapakku, laksanakanlah apa yang di perintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (lihat QS. As-Shaffat : 102). Namun, tak mudah bagi Nabi Ibrahim AS menjalankan perintah tersebut. karena setan terus menggoda dirinya agar membatalkan perintah itu. Tapi usaha setan gagal. Begitu pula yang terjadi ketika setan menggoda Ismail, ia juga mengalami kegagalan. Tidak ingin menyerah, setan kemudian menggoda istri Nabi Ibrahim AS akan tetapi usaha tersebut pun tetap tak berhasil. Tatkala Nabi Ibrahim AS siap untuk menyembelih Ismail, Allah Swt melihat kesabaran dan keihlasan atas keduanya lalu menggantikan Ismail dengan seekor domba jantan yang besar, berwarna putih, bermata bagus, dan bertanduk.

Hakikat Cinta

Ada tiga indikator cinta. Menyebut nama, terlihat indah, dan berkurban. Yang pertama menyebut nama; sudah menjadi kelaziman bila mencintai seseorang, pastilah selalu menyebut namanya. Bahkan namanya telah terukir di dalam hatinya.  Cinta Allah Swt berarti dalam setiap hembusan nafasnya selalu ada nama sang pencipta. Lisan dan hatinya tak pernah berhenti menyebut nama-nama yang dimilikNya (lihat : QS A’rof ; 180). Yang kedua, dua kata dijadikan satu, dibolak balik bisa memiliki arti yang benar dan sama. Cinta karena indah, atau indah karena cinta. Kecintaan yang dalam, akan melahirkan keindahan, karena atas dasar cinta maka segala yang dipandangnya terlihat indah, meskipun orang lain menilainya sebaliknya. Atau karena keindahan dapat melahirkan benih benih cinta. Inallaha jamil wayuhibul jamil, “Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Cinta Allah Swt berarti dalam setiap tatapan mata  dan hati kita, terlihat indah dan menyenangkan, melahirkan hati yang ingin selalu bermuwajah dan taqarub di hadapanNya.  Tatkala sholat, sebagai bentuk komunikasi individual makhluk dengan sang Kholiq, yakinkan bila kita tidak bisa melihat Allah Swt namun seakan-akan Allah Swt melihat kita. Yang ketiga, berkurban. Ada kalimat sindiran yang terngiang di telinga kita. Jangan bermain cinta kalau tidak mau berkurban. Kalimat tersebut memang benar adanya, sebuah cinta harus ditebus dengan sebuah pengorbanan baik harta bahkan jiwa. Pengorbanan yang dilakukan dalam upaya membuktikan cinta sejati dan lebih mendekatkan dirinya dengan yang sangat dicintainya. Cinta Allah Swt berarti harus ada konskuwensinya. Salah satunya dibuktikan dengan rela berkurban apa yang dimiliki dan dicintainya (lihat QS al kautsar 1-3).

Ada ungkapan yang indah, al Insaanu ya’ti bilaa syai, tsumma yas’a waraa-a kulli syai, summa yatruku kulli syai, wayadzhabu bilaa syai’, summa yuhasabu ‘ala kulli syai. “manusia datang dalam hidup ini tanpa membawa sesuatu, lalu ia hidup di dunia berusaha mengejar segala sesuatu, kemudian ia tinggalkan segala sesuatu itu dan pergi tanpa membawa sesuatu, lantas ia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu itu”. Arti sesuatu tesebut adalah hal-hal yang menjadi kebanggaan manusia, tiada lain adalah harta. Penegasan dari ungkapan tersebut juga sudah termaktub dalam qs al Baqarah ayat 156, “Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali”. Bahkan Lebih dari itu kita sudah mengikrakan diri ketika sedang menuaikan sholat. Dalam bacaan doa iftitah, inna solaati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillaahi rabbil ‘aalamiin, “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam”.

Harta yang sudah kita raih hanya sekedar transit sebentar, suatu ketika akan lenyap dari genggaman kita. Cintai ia seperlunya saja, jangan berlebih. Khoirul umuri austhuha, sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah saja. Bila mencintai harta berlebihan, kecenderungan akan memunculkan penyakit hati yaitu hubbud dunya. Penyakit yang tertanam dalam hati mampu menjadi sumber kehancuran. Rasulullah Saw melalui sabdanya pernah mengingatkan, “cinta kepada dunia adalah pangkal semua kesalahan.” (HR Baihaqi dari Imam Hasan al-Bashri). Menganggap dunia sebagai tujuan utama bukan sebagai sarana menggapai kebahagiaan di akhirat, membolehkan segala cara tanpa berfikir halal atau haram, kikir pelit enggan menyedekahkan harta atau mengeluarkan zakat padahal merasa mampu, tidak puas dengan apa yang dimiliki, sehingga melahirkan tindakan serakah, tamak dan rakus, dan tidak besyukur dengan nikmat yang ada meski sedikit. Kesemuanya itu indikator hubbud dunya. Cintai dunia seperlunya saja, karena cinta hakiki adalah kepada sang pencipta dunia dan seisinya.

Hakikat Harta

Harta merupakan simbol prestise manusia. Banyak persepsi seseorang dikatakan dan dikelompokan “the haves” karena kepemilikan harta secara kuantitatif dan kualitatif. Yang beranggapan demikian, berasumsi dengan harta hidup bahagia, tanpa harta hidup sengsara. Bagi orang-orang yang beriman pasti memiliki penilaian yang berbeda, bahwa harta bukan satu-satunya sumber kebahagiaan di dunia, akan tetapi  hanyalah sebuah titipan yang harus kita tasarufkan secara benar, jadikan ia sebagai sarana beribadah kepada Allah Swt. Di yaumul hisab akan ada pertanggungjawaban tentang umur. umurnya dihabiskan untuk apa, tentang ilmu, ilmunya digunakan untuk apa dan tentang harta ada dua pertanggungjawaban, harta diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa.  

Al Insanu mahalul khotho’ wanisyaan, manusia itu tempatnya salah dan. khilaf. Terkadang sadar atau tidak, sengaja atau tidak, dalam kita mencari harta kurang berhati-hati. Dalam persepktif kita mencari harta sinonimnya adalah bekerja. Bekerja sebagai seorang pendidik, tidak hanya sekedar transfer of knowledge saja, transfer of values kepada murid adalah bagian tugas penting sebagai pendidik. Kesengajaan atau tidak, sepertinya sudah melekat pada diri kita, datang terlambat ke kelas, meninggalkan kelas tanpa ada udzur syar’i, mengurangi jam mengajar, membawa persoalan di rumah sehingga yang jadi sasaran peserta didik, sikap marah, jengkel dan lain lain. Suasana bekerja seperti ini menandakan tidak ada rasa keihlasan dalam hati dan kurang memahami makna bekerja yang sebenarnya yaitu sebagai sarana ibadah, dan berbuat ihsan (baik). Al hasil, upah bekerja (baca; gaji) boleh jadi bercampur dengan sesuatu yang bersifat subhat, remang-remang atau bahkan cenderung ke haram.

Merujuk pada qs al baqarah 168, pesan moral yang disampaikan oleh Allah Swt, makanlah yang halal lagi baik dari apa-apa yang ada di bumi. Halal baik secara dzat dan ikhtiar dalam mencarinya. Baik atau tayyib maksudnya dapat memberikan kemaslahatan dan kesehatan jasmani dan rohani manusia. Dalam do’a sholat duha ada kalimat wainkana haroman fathohhirhu, memohon rizki, yang apabila bercampur barang haram maka sucikanlah. Mensucikan harta yang kita peroleh adalah dengan cara memperbanyak bershodaqah, berinfaq, beramal. Implementasinya menyisihkan sebagian harta (2,5 %) atau lebih untuk kepentingan agama, dan sosial. Dari sumber manapun harta yang diperoleh harus dibersihkan dengan mengeluarkan zakat, sehingga dalam pekembangannya ada fiqih kontemporer, ada ketentuan zakat profesi selain zakat mal, zakat niaga, zaat perdagangan, zakat emas dan lain-lain. Banyak sekali ayat alquran dan al Hadits yang menjelaskan manfaat besar atau fadhilah berzakat, bershodaqah, berinfaq, dan beramal. Al baqarah ayat 276, menyatakan bahwa Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Memusnahkan riba maksudnya memakan harta dengan cara riba tidak akan mendapatkan keberkahan sedangkan dengan bersedekah, disitulah justru Allah melimpahkan keberkahan. Apa itu berkah? Berkah itu ziyadatul khoir atau bertambahnya kebaikan. Harta yang berkah itu cirinya mendatangkan kebahagiaan hakiki, yaitu suatu perasaan merasa cukup yang menancap dalam hatinya, Laisal ghina an katsrotil ‘arodh walakin al ghina, ghina nafsi. Harta yang berkah juga bisa dalam bentuk kesehatan dan keselamatan diri dari segala bentuk mara bahaya, Ashodaqatu daf’ul balak “shodaqoh itu dapat menolak balak/musibah. Rasulullah Saw juga bersabda” Sedekah itu tidak akan mengurangi harta, justru akan menambah rezeki (HR Muslim). Merujuk hadits ini, harta yang berkah itu dapat memancing datangnya rezeki yang tidak disangka sangka, min haisu la yahtasib, datang dari sumber mana diluar sangkaan manusia.

Hakikat Pengorbanan

Di Momentum dzul hijah ini sangat pas untuk mengukur seberapa tingkat kecintaan kita kepada Allah. Harta yang kita peroleh dan miliki hanya sebuah titipan semata. Hak memiliki sepenuhnya hanya ada pada Allah, sedangkan manusia hanya diberi hak untuk memakai atau mentasarufkan sesuai kaidah syar’i. Sisihkan harta yang kita miliki untuk kemanfaatan orang banyak, karena di dalam harta kita ada hak orang lain, yaitu fakir miskin.

Salah satu amalan yang memberi bermanfaat bagi antar sesama adalah dengan berkurban. Qurban adalah ibadah yang paling dicintai Allah Swt di yaumul idul adha, sarana mendekatkan diri, sebagai bentuk rasa syukur, dan terlimpahi pahala serta ampunan atas dosa-dosa (tulisan Bapak Rusmiyanto).  Menyembelih hewan qurban pada hari raya idul adha 10 dzulhijjah dan hari tasyriq tanggal 11, 12, 13 dzulhijah merupakan tuntunan Nabi Ibrahim AS dan Ismail. Menyembelih adalah tindakan memutus jalan nafas, jalan makanan, dan urat nadi pada leher hewan dengan alat tajam sesuai dengan syari’at Islam, agar hewan tersebut halal dikonsumsi. Penyembelihan juga berarti melenyapkan ruh binatang dengan cara memotong leher, kerongkongan, dan tenggororkan serta dua urat nadi dengan alat tajam, kecuali gigi dan tulang. Hewan sembelihan merupakan simbol nafsu duniawi.  Manusia memiliki nasfu sebagaimana nafsu yang dimiliki oleh hewan juga. Al insan al hayawan natiq” adalah sebuah istilah dalam ilmu mantiq (logika) yang berarti “manusia adalah makhluk hidup (binatang) yang bisa berbicara”. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan sifat khas manusia yaitu kemampuan berpikir dan berbicara yang membedakannya dari hewan. Nafsu hewani yang melekat pada diri manusia tidak bisa dihilangkan namun sebagai makhluk yang dikarunia akal untuk berfikir, harus bisa mengendalikan nafsunya dengan akal sehatnya

Bila saat ini belum mampu berkurban dan menyembelih hewan, sembelihlah sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri kita. Sifat tamak dan sombong kita sembelih, dan dikubur dalam-dalam, sehingga melahirkan sifat qonaah (menerima apa adanya) dan tawadhu (rendah hati). Sifat pemalas kita sembelih, dan kubur dalam-dalam, sehingga melahirkan sifat rajin dan sungguh-sungguh. Man jada wajada, siapa yang bersungguh sungguh pasti akan menuai hasilnya. Sifat iri dengki kita sembelih, dan kubur dalam-dalam, sehingga melahirkan sifat ghibthah, yaitu rasa senang ketika orang lain mendapat kebaikan dan nikmat dari Allah Swt. Sifat benci kita sembelih dan kubur dalam-dalam, sehingga melahirkaan sifat ruhama, penuh kasih sayang antar sesama. Menyembelih dan mengubur dalam-dalam sifat-sifat buruk lainnya, sehingga melahirkan sifat dan akhlaq yang terpuji atau akhlakul karimah.

Ketulusan cinta kita kepada Allah Swt harus dibuktikan dengan kita mau berkurban, mengorbankan segala bentuk pemberian yang paling dicintainya untuk kemaslahatan umat, anfa uhum linnas. Dan Allah Swt akan menguji kualitas cinta dan keihlasan, ketika kita mau berkurban. Itulah makna haqiqi cinta dan pengorbanan. Wallahu a’lam bishowab. Aa’

penulis
Tim IT

Tulisan Lainnya

SMAGALAS MUDA SUDAH VAKSIN!
Oleh : Rahmad Ardiansyah

SMAGALAS MUDA SUDAH VAKSIN!

Bertemu Manusia Purbakala di Sangiran
Oleh : Rahmad Ardiansyah

Bertemu Manusia Purbakala di Sangiran

0 Komentar

KELUAR