Jumat, 26 Apr 2024
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 13 Semarang

RATU PENUNGGU POHON JOHO Oleh S. Prasetyo Utomo

Ratusan tahun umur pohon Joho, berdiri kokoh di tebing barat SMA Negeri 13 Semarang. Sejak 1987 SMA Negeri 13 Semarang menempati gedung di lahan bekas rawa yang dikeringkan, pohon Joho itu berdiri kokoh sepanjang musim.  Kadang pohon Joho itu rimbun dedaunan, kadang menggugurkan seluruh dedaunannya, ranggas batang dan ranting-rantingnya, seperti pohon pada musim gugur di Eropa. Ada saatnya pohon itu bersemi dengan daun-daun hijau muda, segar, sedap dipandang.

            Pada saat pohon langka berumur ratusan tahun itu berbunga, tercium bau busuk menyengat, tersebar ke sudut-sudut halaman sekolah. Akan tetapi, tak seorang pun merasa mual dengan aroma busuk kembang Joho. Guru, karyawan, anak-anak sekolah, sudah terbiasa dengan aroma bunga Joho, dan mereka menerima aroma busuk itu sebagai bagian dari mencintai dan menerima pohon langka itu.

            Tidak banyak warga sekolah yang tahu, siapa penunggu pohon Joho, sebelum datang tetua adat dari wilayah Mijen, yang diminta memimpin sedekah dan membaca doa, sebelum dibuat pot besar yang mengelilingi pohon Joho itu. Ini terjadi zaman Pak Sentot menjabat sebagai kepala SMA Negeri 13 Semarang. Beliau ingin membuat pot besar yang membingkai tanah sekitar tebing tempat pohon Joho  berdiri kokoh ratusan tahun. Sekolah menyelenggarakan selamatan kecil, dengan ingkung ayam, nasi dalam tampah, gudangan, dan lauk-pauk. Tetua adat itu berdoa di hamparan tikar, di bawah pohon Joho. Memejamkan mata. Sepasang mata terkatup, memohon pada Allah agar selama pembuatan pot besar (yang sedianya didaftarkan ke Muri sebagai pot terbesar di dunia) terhindar dari godaan dan gangguan makhluk penunggu pohon Joho.

            Usai berdoa, wajah tetua adat tampak letih. Ia menghela napas. Mengambil sebatang rokok. Menyalakannya. Setelah hisapan rokok itu, tampak wajahnya segar. Akan tetapi, sepasang matanya agak memerah.

            “Apa yang terjadi, Pak?” tanya saya.

            “Sudah selesai. Penunggu pohon ini tidak marah.”

            “Siapa dia?”

            “Sudah sejak ratusan tahun, ketika lahan ini masih berupa rawa yang bening dengan ikan-ikan berenangan di dalamnya, pohon Joho ini berdiri tegar. Tak pernah lebih besar dari pohon yang kita saksikan sekarang ini. Makhluk halus setia menunggui pohon ini. Ia seorang ratu bermahkota. Selalu tampak cantik dan muda.”

            “Apa serupa Nyi Roro Kidul?” desak saya.

            Tetua adat memejamkan mata. Menghembuskan asap rokoknya. Ia membuka mata dan menjawab pelan, “Tidak sama. Penunggu pohon ini tak pernah murka. Ia berwujud manusia hanya sampai pusar. Dari pusar ke bawah berupa ular sempurna dengan ekor dan sisiknya yang gemerlapan.”

                                                                      ***

            Dengan imajinasi sebagai seorang pelukis, Pak Sugiyono, guru seni rupa SMA Negeri 13 Semarang melukiskan ratu penunggu pohon Joho.  Mitos ini tidak diketahui semua orang. Hanya orang tertentu yang pernah melihat ratu cantik penunggu pohon langka ratusan tahun. Anak-anak sekolah mencintai pohon ini, dan senantiasa bermain di bawah pohon Joho yang teduah, senyap, dan menenteramkan. Kadang seorang guru mengajak murid-muridnya keluar ruang kelas, menggelar pembelajaran di bawah pohon Joho.

            Tak seorang pun tahu bila pohon Joho itu mengalami pelapukan dari dalam. Batang pohon mulai keropos. Hingga terjadilah musibah pada pohon joho itu. Tanggal 23 Mei 2018 tiba tiba  di sekitar pohon Joho berhembus angin yang sangat kuat dan kencang, yang mematahkan separuh dahan pohon besar yang berumur ratusan tahun itu. O dari pohon itu Kami yang meyaksikan peristiwa itu terkejut dan badan rasanya lemah lunglai. Separo dari pohon itu, yang berupa  dahan besar terhempas dalam hitungan menit. Anginpun langsung menghilang, seakan datang hanya untuk menghempaskan dahan Joho itu. Saat itu juga masyarakat berbondong bondong datang meyaksikan. Esok harinya kepala sekolah SMA 13 saat itu, ibu Endah Dyah Wardani mengumumkan pada warga sekolah untuk membiarkan sempalan pohon Joho, tetap berada di bawah tegarnya pohon Joho yang masih berdiri tegak. Hal ini dimaksudkan agar suatu saat nanti sempalan itu bisa menjadi barang seni yang bersejarah bagi masyarakat Wonolopo khususny SMAN 13. Saat inipun sempalan pohon Joho masih tergeletak di bawahnya. Bila kita melihatnya dari jarak yang agak jauh, 10 meter misalnya, dahan itu tampak seperti bentuk hewan  semacam Biawak/

Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk makhluknya. Rabu tanggal 13 Nopember 2019 pada saat yang tidak jauh berbeda dengan terhempasnya dahan besar tahun 2018 lalu, untuk kedua kalinya, angin kencang berhempaskan keteduhan pohon Joho. Kali ini seluruh daunnya terhempas tanpa tersisa selembarpun. Batang pohon Joho yang dulu rindang dan teduh .tinggal batang saja. Yang berdiri tegak seperti monumen hidup. Anehnya terhempasnya semua dahan kali ini terbang melompat dari pagar sekolah dengan ketinggian kurang lebih 4 meter dan terhampar di kampung sebelah sekolah tanpa menimpa rumah yang ada di ssampingnya. Semua seperti sulapam. Tidak seorang pun didera celaka sebagai korban.   Bahkan tidak ada yang dirugikan Yang semestinya ssamping sekolah itu jalan, tetap saja masih berfungsi sebagai jalan.  Jadi benar dahan besar itu seperti melompat.

Atas pertimbangan sejarah keberadaan pohon Joho di desa Wonolopo yang sudah berusia ratusan tahun, kepala desa Wonolopo mengajukan permohonan ke kepala sekolah tempat tumbuhnya pohon itu, untuk dijadikan  Icon desa wisata dan akan diabadikan di Embung desa sebagai Simbul sejarah berdirinya Rowosemanding. Dengan mengingat  manfaatnya maka kepala SMA Negeri 13 Semarang melepaskan Sempalam pohon Joho itu untuk dikelola desa Wonolopo.

            Pohon Joho itu masih berdiri gagah dan kokoh. Tinggal batang. Tanpa dahan, tanpa daun-daun yang rimbun. Akan tetapi, kami masih mencintai pohon Joho itu. Menanti daun-daun dan ranting kembali tumbuh. Menanti kisah baru yang akan muncul bersama dengan daun-daun yang bersemi kembali. Menanti terwujudnya hasrat Pak Sentot dulu: tercatat dalam Muri sebagai pot eksotis terbesar di dunia. Pot dengan relief kisah rawa dan pohon Joho itu, yang masih membingkai lahan di sekitar akar pohon tua itu. Menanti masim hujan turun, menyemaikan daun-daun. Pohon Joho itu akan tetap menjadi simbol keteduhan lingkungan bagi kami, harmoni alam, kenangan, dan inspirasi.  

Post Terkait

0 Komentar

KELUAR