Senin, 07 Jul 2025
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 13 Semarang

Masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959)

Masa demokrasi Liberal di Indonesia berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959. Demokrasi Liberal juga disebut sebagai Demokrasi Parlementer memiliki ciri sebuah negara yang dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden yang menjabat sebagai kepala negara. Pada masa Demokrasi Liberal, parlemen memiliki peran yang sangat penting karena menjadi perpanjangan tangan dari rakyat yang ikut dalam perpolitikan negara. Selain itu, kabinet diperbolehkan melakukan kritik kepada pemerintah apabila tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah.

Selama Indonesia berdiri, mulai 17 Agustus 1945 hingga 5 Juli 1959 Indonesia menganut sistem Demokrasi Parlementer. Tokoh yang mempercayai sistem ini adalah Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut keduanya, dengan adanya partai politik dapat menciptakan kondisi demokrasi sesungguhnya yakni dari rakyat, bagi rakyat dan untuk rakyat.

Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1950, sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Indonesia resmi diakui oleh Belanda. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal yang berdasarkan pada Undang – Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Pada masa Demokrasi Liberal mulai muncul partai – partai politik baru dengan kebebasan berpendapat dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Walaupun munculnya sistem Demokrasi Liberal dianggap sebagai bentuk kebebasan berpolitik, namun dalam perjalanannya persaingan tidak sehat antar partai politik mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan. Secara garis besar, kabinet – kabinet yang ada pada Demokrasi Liberal diantaranya :

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet Natsir berusaha untuk melibatkan semua partai dalam parlemennya. Namun, Mohammad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang bersebrangan. Masyumi sebagai partai dari Natsir sebagai pengaruh partai Islam yang sangat kuat berusaha untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) namun selalu saja kandas.

PNI bahkan melakukan tuntutan pada Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahnya. Mosi tidak percaya membuat Kabinet Natsir akhirnya mundur dan Natsir turun dari jabatannya.

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

PNI mendapatkan posisinya dalam Kabinet Sukiman. Namun, permasalahan yang sama kembali muncul. Sukiman Wiryosanjoyo berasal dari Masyumi yang menjabat sebagai perdana menteri. Beberapa kebijakan Sukiman banyak ditentang oleh PNI yang melancarkan mosi tidak percaya. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Wilopo mendapatkan suara mayoritas dalam parlemen sehingga dipilih menjadi perdana menteri. Tugas poko Kabinet Wilopo adalah untuk menjalankan Pemilu anggota parlemen dan Konstituante. Kabinet Wilopo tidak berlangsung lama karena adanya kasus Peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa Tanjung Morawa. Krisis ekonomi, defisit kas negara, konflik internal antara TNI dan parlemen serta gerakan separatisme memperkeruh keadaan dimasa Kabinet Wilopo. Pada 2 Juni 1953, Kabinet Wilopo menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo I memiliki tugas yang sama dengan Kabinet Wilopo yaitu melaksanakan Pemilu. Pada tanggal 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Pemilihan direncanakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I keadaan ekonomi Indonesia memburuk yang disertai korupsi. Nahdatul Ulama (NU) kemudian menarik diri dari kabinet yang diikuti oleh partai lain. Pada akhirnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I kewalahan dengan keadaan yang terjadi sehingga mengembalikan mandatnya kepada presiden pada 24 Juli 1955.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956)

Kabinet Burhanuddin Harahap mampu melaksanakan Pemilu 1955 tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Kendati demikian, terdapat beberapa masalah dimasa Kabinet Burhanuddin Harahap. Penyelesaian Irian Barat yang berlarut – larut berakibat munculnya gelombang protes baik dari Soekarno maupun partai lain. Pada akhirnya Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya pada 3 Maret 1956.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)

Kabinet Ali Sastroamidjojo II mengalami masalah yang sama pada kabinet sebelumnya seperti persoalan Irian Barat, otonomi daerah, keuangan negara dan lain – lain. Berakhirnya masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II dikarenakan tidak selesainya permasalahan Irian Barat.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Kabinet Djuanda memberikan 5 program kerja yakni pembentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan di Kabinet Djuanda adalah Deklarasi Djuanda. Kebijakan ini memberatkan beberapa negara sehingga Indonesia harus melakukan perundingan dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Baca Juga : Kebijakan Ekonomi Masa demokrasi Liberal

Akhir Demokrasi Liberal

Selama masa Demokrasi Liberal berlangsung keadaan Indonesia cenderung tidak stabil sehingga berimbas pada segala aspek di Indonesia. Hal tersebut berimbas pada keputusan Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam Dekrit 5 Juli 1959 berisi Dewan Konstituante dibubarkan dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Hal ini sekaligus meninggalkan UUDS 1950 yang sebelumnya berlaku. Selain itu dibentuk pula Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Melalui Dekrit 5 Juli 1959 secara resmi Demokrasi Liberal berakhir dan dilanjutkan Demokrasi Terpimpin.

KELUAR