Rabu, 09 Jul 2025
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 13 Semarang

Kebijakan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal

Kondisi ekonomi pada masa demokrasi liberal masih tidak stabil. Hal ini diperparah dengan silih bergantinya kabinet serta gerakan separatisme di berbagai wilayah di Indonesia. Keterpurukan ini mengharuskan pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam bidang ekonomi untuk menghindarkan keterpurukan ekonomi. Kebijakan tersebut diantaranya :

Gunting Syafruddin

Kebijakan gunting syafruddin dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada 20 Maret 1950. Melalui kebijakan ini, nilai mata uang dipotong (senering). Sebagai contoh, uang yang bernilai Rp 2,50 keatas dipotong nilainya hingga setengahnya. Tujuan dari kebijakan ini adalah menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Dampak dari kebijakan ini adalah uang yang beredar menjadi berkurang.

Gerakan Benteng

Kebijakan gerakan benteng dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo. Gerakan ini bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Perwujudan dari gerakan benteng ini adalah dengan menumbuhkan pengusaha Indonesia melalui kredit. Namun, kebijakan gerakan benteng mengalami kegagalan karena pengusaha lokal tidak mampu bersaing. Akhirnya pemerintah mengalami defisit anggaran dari Rp 1,7 miliar pada 1951 menjadi Rp 3 miliar pada 1952.

Nasionalisasi De Javasche Bank

Pada tahun 1951, pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia. Bank milik Belanda tersebut dijadikan sepenuhnya milik Indonesia untuk menaikkan pendapatan, menurunkan biaya ekspor dan menghemat secara drastis.

Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi ali baba dikeluarkan oleh Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisurjo. Program ini melibatkan pribumi (ali) dan pengusaha tionghoa (baba) untuk memberi pelatihan kepada pribumi. Sebagai imbalannya, pengusaha tionghoa mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah. Namun, program ini mengalami kegagalan dan tidak sesuai harapan.

Program Finansial Ekonomi

Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia harus membayar hutang Belanda. Tentu hutang tersebut sangat memberatkan Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 7 Januari 1956, Indonesia memutuskan langkah Finansial Ekonomi (Finek) yang isinya :

  • Persetujuan hasil KMB dibatalkan
  • Indonesia keluar dari Uni Indonesia – Belanda

Akibatnya, banyak perusahaan Belanda yang dijual. Disisi lain, pribumi belum bisa membeli perusahaan tersebut.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPTL)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPTL) yang bertujuan agar pembangunan sesuai dengan kerangka yang disepakati dalam jangka waktu tertentu. Kondisi politik yang labil serta kerap bergantinya kabinet membuat pembangunan tersendat.

RPTL disetujui DPR pada 11 November 1958. Perencanaan dirancang dalam lima tahun yaitu 1956 hingga 1961 dengan pembiayaan Rp 12,5 miliar. Namun, RPTL tidak berjalan sesuai yang diinginkan karena depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perekonomian dalam negeri terkena imbasnya. Ekspor menurun dan pendapatan negara merosot. Selain itu, gejolak politik di masa demokrasi leiberal menyebabkan pembangunan tidak berjalan.

Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)

Pada masa Kabinet Djuanda, terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah. Masalah ini diatasi dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Dalam Munap dibahas rencana pembangunan yang telah ditetapkan agar lebih disesuaikan dengan kebutuhan. Namun, tetap saja Munap tidak dapat menyelesaikan masalah. Hal ini karena adanya pemberontakan PRRI/Permesta.

KELUAR