Oleh S. Prasetyo Utomo
Hujan turun ketika rombongan study wisata siswa SMA Negeri 13 Semarang mencapai desa adat Panglipuran sore hari 13 Desember 2019. Akan tetapi, hujan tidak menyurutkan minat para siswa untuk menikmati eksotisme desa. Ini merupakan desa adat, terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Jarak dari Kuta ke desa adat Panglipuran kurang lebih 53 kilometer. Objek ini dikunjungi sore hari setelah perjalanan study wisata para siswa menyeberangi Selat Bali. Daya tarik yang secara kasat mata dapat dilihat adalah arsitektur rumah yang masih tradisional yang hampir sama. Pintu gerbang hampir sama, yang dinamakan angkul-angkul. Pintu gerbang itu bercat dengan bahan dasar dari tanah liat. Kesamaan arsitektur rumah ini menunjukkan semangat dan jiwa kebersamaan, terpadu dengan alam.
Para siswa tertarik mengamati keaslian rumah-rumah yang tertata rapi dalam arsitektur tradisional. Arsitektur bangunan dan pengolahan lahan mengikuti konsep Tri Hita Karana, dengan filosofi masyarakat yang mempertahankan keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan lingkungan. Mereka berhasil membangun pariwisata yang membuka daya tarik wisatawan dengan mempertahankan budaya dan tradisi mereka. Di samping itu, para siswa juga berkesempatan untuk berdialog dengan para penduduk yang masih melestarikan budaya tradisional Bali.
Desa adat Panglipuran mencapai 112 hektar dengan ketinggian 500-600 meter di atas permukaan air laut. Udara sejuk suasana asri dan dikelilingi desa adat lain. Sekitar 40 persen wilayah desa adat Panglipuran berupa pohon bambu. Masyarakat tidak diperkenankan menebang pohon bambu tanpa seizin tokoh masyarakat setempat. Kepala keluarga mencari nafkah dengan bertani, sebagai pengerajin anyaman bambu, dan beternak. Desa ini memiliki keunikan budaya yang menghormati kaum wanita dan melarang kaum pria untuk melakukan poligami. Jika mereka melanggar adat, mendapat hukuman dikucilkan dari desa.
Desa ini juga memiliki budaya hukuman bagi seseorang yang melakukan pencurian. Bagi yang ketahuan mencuri akan dihukum memberikan sesajen lima ekor ayam dengan warna bulu yang berbeda di empat pura leluhur. Penduduk desa Panglipuran menganut agama Hindu, tetapi mereka tidak mengenal upacara pembakaran mayat, karena jenazah dikuburkan.
Penduduk membuat minuman khas yang disebut loloh cemceman, seperti air tape, warna hijau, karena bahan dasarnya dari perasan daun cemceman.