Perjanjian Renville merupakan sebuah perjanjian yang terjadi pasca Agresi Militer Belanda I yang diselenggarakan dalam rangka meredakan konflik Indonesia-Belanda. Perjanjian Renville terjadi akibat Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati dan melakukan agresi militer. Belanda berusaha menguasai wilayah Republik Indonesia Serikat, disisi lain Indonesia menganggap bahwa wilayah hasil kesepakatan Perjanjian Linggarjati merugikan pihak Indonesia karena menganggap wilayahnya terlalu sempit.
Perjanjian Renville tidak terlepas dari Agresi Militer Belanda I. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia pada 1 Agustus 1947 yang diteruskan Van Mook untuk menghentikan agresi pada 5 Agustus 1947. Pada tanggal 25 Agustus 1947, PBB mengusulkan untuk membentuk komisi tiga negara yang terdiri dari Belgia sebagai wakil dari Belanda, Australia sebagai wakil Indonesia dan Amerika Serikat sebagai pihak penengah.
Pada tanggal 29 Agustus 1947, Belanda mendeklarasikan Garis Van Mook yang nantinya menjadi pemisah antara wilayah Indonesia dan Belanda. Berdasarkan Garis Van Mook tersebut Republik Indonesia mendapat sepertiga dari pulau Jawa dan sebagian besar pulau Sumatera. Disisi lain Belanda melakukan blokade atas wilayah Indonesia. Melihat adanya klaim wilayah diantara keduanya, perundingan pun dilakukan oleh Indonesia dan Belanda di kapal perang Amerika Serikat USS Renville sebagai tempat netral pada tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948. Kapal perang tersebut disandarkan di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Delegasi yang hadir dari Indonesia terdiri dari ketua : Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, wakil : Mr. Ali Sastroamidjojo dan Agus Salim, anggota : Dr. Leimena, Mr. Latuharhary, dan Kolonel T.B. Simatupang. Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Setelah menjalani perundingan, pada 17 januari 1948 disepakatilah poin – poin perdamaian yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Renville. Berikut adalah isinya :
Disepakatinya Perjanjian Renville memberi dampak kepada pihak Indonesia. Perjanjian Renville menjadi awal penyebab pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Daerah – daerah penting penghasil sumber kebutuhan pokok dikuasai Belanda sehingga terjadi kemunduran ekonomi Indonesia.
Perjanjian Renville juga mengakibatkan diharuskannya TNI Divisi Siliwangi di Jawa Barat untuk melakukan long march untuk mundur ke Yogyakarta sebagai ibu kota baru Indonesia. Dampaknya terjadi pemberontakan Kartosuwiryo yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Perjanjian Renville membuat wilayah Indonesia semakin menyempit akibat adanya Garis Van Mook. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Perdana Menteri Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya karena dianggap gagal dalam mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Dampak positif dari Perjanjian Renville adalah adanya perhatian internasional kepada Indonesia tentang sepak terjang Belanda.