Kota Semarang memiliki berbagai bangunan kolonial ikonik, salah satu diantaranya adalah bangunan kolonial Lawang Sewu. Lawang Sewu menjadi saksi bisu keberadaan kolonialisme Belanda dan bagaimana perkembangan budaya di masa lalu. Selain menyimpan sejarah yang sangat dalam, Lawang Sewu juga memiliki cerita – cerita magis yang semakin memberikan kesan menarik bagi para pengunjung. Berikut ini tim sma13smg akan menyajikan tulisan mengenai sejarah Lawang Sewu.
Secara etimologis kata Lawang Sewu berasal dari bahasa jawa yang berarti “pintu seribu”. Penyebutan Lawang Swu didasarkan pada banyaknya jendela dan pintu yang terdapat di bangunan ini walaupun jumlahnya tidak menyentuh angka seribu pintu. Pada masa kolonialisme Belanda, gedung ini bernama Het administratiegebouw van de Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij, sebuah gedung perkantoran untuk mengurus perkereta apian milik Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Saat ini bangunan Lawang Sewu dikelola oleh PT.Kereta Api Indonesia (KAI) yang dialihfungsikan menjadi museum serta galeri tentang sejarah perkeretapian di Indonesia.
Lawang Sewu terletak di Jl. Pemuda, berada tepat di depan Tugu Muda dan Museum Mandala Bhakti. Gedung Lawang Sewu mulai dilakukan pembangunan melalui peletakan batu pertama pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1919. Namun, gedung ini sudah beroperasi sejak 1907. Secara umum, bangunan Lawang Sewu memiliki dua bangunan utama dimana setiap bangunan memiliki dua gedung A dan B, serta C dan D. Gedung A adalah gedung yang menghadap ke Tugu Muda serta memiliki dua menara kembar. Bangunan ini memiliki banyak kaca patri besar, memiliki tangga utama di bagian tengah serta jalur menuju lorong bawah tanah. Tepat di belakang gedung A, terdapat gedung B yang memiliki 3 lantai. Lantai 1 dan 2 pada gedung ini digunakan sebagai perkantoran sedangkan lantai 3 berfungsi sebagai loteng.
Pada tahun 1864 ketika Belanda melakukan pembangunan jalur kereta api di Indonesia, Belanda mulai merancang jalur kereta api Semarang-Solo-Yogyakarta dan Kedungjati-Ambarawa. NIS merupakan perusahaan yang bertanggungjawab dalam membangun jalur kereta api ini. Dimulai dari tahun 1864 hingga 1867, pada awalnya pembangunan jalur kereta api ini difungsikan sebagai penghubung antara Semarang sebagai bandar pelabuhan dan industri dengan wilayah pedalaman sebagai penghasil bahan mentah berupa hasil perkebunan dari Solo dan Yogyakarta. Dengan adanya perkembangan teknologi membuat NIS sukses besar dan mengharuskan memiliki kantor sendiri.
Kantor yang akan mereka bangun adalah sebuah kantor urusan administrasi yang nantinya terletak di Jalan Pemuda. Pada tahun 1904 dimulailah proses pembangunan gedung administrasi perkantoran kereta api oleh J.F. Klinkhamer dan B.J. Queendag sebagai koordinator perencanaan, serta memilih Cosman Citroen sebagai arsitek untuk gedung tersebut. Pembangunan gedung ini berakhir pada tahun 1918.
Ketika memasuki masa penjajahan Jepang, bangunan Lawang Sewu berubah menjadi Kantor Ryuku Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang). Selain menggunakan kantor transportasi, Jepang juga menggunakan ruang bawah tanayh Lawang Sewu sebagai penjara dan tempat eksekusi mati. Kemudian pada Oktober 1945, Belanda ingin mengambil alih kembali wilayah Semarang sehingga menimbulkan perang dan memaksa Jepang mundur.
Setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan gedung Lawang Sewu berubah menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Namun, memasuiki tahun 1946 ketika Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Semarang, DKARI harus berpindah ke bekas kantor de Zustermaatschappijen kareba gedung Lawang Sewu dimanfaatkan Belanda untuk menjadi marka Belanda.
Pada tahun 1994 dilakukan penyerahan ke PT. KAI dan dilakukan restorasi gedung Lawang Sewu pada tahun 2009. Pada tahun 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono meresmikan gedung Lawang Sewu yang kini menjadi destinasi wisata sejarah perkereta apian di Indonesia.