Masa ekonomi liberal di Hindia Belanda terjadi pada 1870-1900 yang ditandai dengan diberikannya peluang kepada pemodal swasta untuk menanamkan modal dalam kegiatan usaha di Hindia Belanda. Para pelaku usaha baik dari Belanda maupun negara Eropa lainnya menanamkan modal di industri – industri perkebunan seperti kopi, teh, gula dan kina baik di Jawa maupun luar Jawa.
Pada masa pemerintahan sistem ekonomi liberal, sistem kerja paksa (cultuurstelsel) sudah dihapuskan. Dengan dibebaskannya swasta menanamkan modal dan pengaruhnya membuat perkembangan ekonomi Hindia Belanda maju sangat pesat terutama di Jawa. Penduduk pribumi Jawa mulai menyewakan tanahnya kepada swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan besar.
Dari perkebunan ini memberikan peluang bekerja sebagai buruh perkebunan bagi pribumi. Selama tahun 1870-1885 terjadi perkembangan pesat dan keuntungan besar pada perkebunan teh, kopi, tembakau dan tanaman perdagangan lainnya.
Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 oleh Van Den Bosch memang memberi dampak besar bagi Belanda yang mengalami kekosongan kas negara pada masa itu. Namun, berjalannya waktu banyak yang menentang penerapan sistem tanam paksa yang dianggap tidak manusiawi terutama dari parlemen Belanda dari kaum liberal dan humanis. Keduanya mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian wilayah jajahan. Desakan tersebut sebagai jawaban atas penindasan terhadap orang – orang Jawa dan Sunda.
Salah satu tokoh kaum humanis dari Belanda bernama Eduard Douwes Dekker pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul Max Havelaar dengan nama samaran bernama Multatuli. Dalam bukunya, Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman Belanda kepada jajahan Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan kepada Belanda terhadap praktek tanam paksa di Hindia Belanda.
Pada saat itu Belanda terhitung sebagai negara investor ketiga terbesar di dunia. Arus investasi dari pengusaha swasta Belanda memaksa pemerintah memberikan kebijakan kebebasan investasi di Hindia Belanda dimana perkebunan menjadi devisa utama Belanda. Pengusaha swasta menginginkan keleluasaan dalam menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Desakan inilah yang membuat Belanda mengeluarkan aturan – aturan tentang kebijakan liberal.
Berbagai kritikan dari kaum liberal swasta dan kaum humanis memaksa Belanda menghapus sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Pada tahun 1870 secara resmi sistem tanam paksa dihentikan. Sebagai gantinya, parlemen Belanda menerapkan sistem open door policy (politik pintu terbuka), sebagai kesempatan penanaman modal Hindia Belanda. Berikut adalah tiga peraturan utama dalam kebijakan ekonomi liberal 1870 :
Sekitar tahun 1885 terjadi kemerosotan harga kopi dan gula yang diakibatkan Eropa mulai menanam gula dan kopi sendiri sehingga tidak memerlukan impor gula dari Indonesia. Krisis ini dijawab dengan melakukan reorganisasi kehidupan ekonomi Belanda. Perkebunan besar yang awalnya milik perseorangan diubah menjadi perseroan terbatas. Pada akhir abad ke 19, sistem ekonomi liberal yang dianggap tidak lagi efektif meraup keuntungan mulai ditinggalkan menjadi sistem ekonomi terpimpin. Sistem ekonomi terpimpin mengubah pemegang kontrol industri tidak lagi pemimpin perkebunan yang ada di Jawa melainkan berdasarkan kepentingan finansial dan industriil di Belanda.
Meskipun ekonomi Hindia Belanda maju secara pesat, namun kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata justru mundur. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya tekanan terhadap sumber – sumber bahan pangan. Tanah dengan kualitas terbaik ditanami tanaman industri sedangkan tanaman pokok seperti padi ditanam di lahan yang tandus.
Dihapuskannya tanam paksa tidak memberi perbaikan nasib kepada rakyat Indonesia. Hal tersebut karena masih berlangsungnya pembayaran pajak tanah dan pajak lainnya kepada pemerintah kolonial. Berikut adalah faktor – faktor yang melatarbelakangi kemiskinan rakyat Indonesia khususnya di Jawa pada masa Ekonomi Liberal :