Setelah terjadi konflik berkepanjangan terjadilah perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggajati, Cirebon pada tanggal 10 November 1946. Perjanjian Linggarjati terjadi karena pada Perundingan Hooge Veluwe tidak diperoleh kesepakatan diantara Indonesia dan Belanda. Inggris menjadi penengah dalam perjanjian Linggarjati yang diwakili oleh Lord Killearn, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H., dan Dr. A.K. Gani, dan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn, De Boer, dan Van Pool.
Pada tanggal 15 November 1946 diumumkan hasil perundingan dengan hasil sebuah naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal antara lain sebagai berikut.
Hasil dari Persetujuan Linggajati mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat Indonesia. Partai politik yang menentang Persetujuan Linggajati adalah PNI, Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, dan Partai Rakyat Jelata. Partai politik yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI, Laskar Rakyat, Partai Buruh, Parkindo, dan Partai Katolik.
Setelah melalui perdebatan dalam masyarakat dan dalam lingkungan KNIP, akhirnya pada tanggal 25 Maret 1947, Perjanjian Linggajati ditandatangani di Istana Riswijk (sekarang Istana Merdeka, Jakarta).
Hubungan Indonesia-Belanda kurang begitu baik, walaupun Perjanjian Linggajati telah ditandatangani. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap pasal- pasal dalam naskah perjanjian tersebut.
Dengan adanya penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal Perjanjian Linggajati, maka hal tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Dalam waktu singkat, Belanda telah berhasil menerobos garis pertahanan Republik Indonesia.