Masa pendudukan Jepang membawa dampak yang sangat luas terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia. Berikut adalah penjelasannya :
Sejak awal pendudukannya di Indonesia, Jepang melarang segala aktifitas politik seperti organisasi politik, organisasi sosial, maupun organisasi keagamaan serta mengganti organisasi tersebut dengan organisasi bentukan Jepang. Satu – satunya organisasi yang tidak dibubarkan adalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah berdiri sejak masa Hindia Belanda. MIAI berkembang dengan pesat karena mendapatkan simpati dari masyarakat. Karena mengancam kepentingan Jepang, maka MIAI dibubarkan pada 1943 dan menggantinya dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
Jepang juga membatasi pergerakan dari tokoh pergerakan yang bersifat nonkooperatif dengan mengawasi secara ketat melalui polisi rahasia kempetai. Kempetai juga turun di masyarakat guna menghukum siapa saja yang tidak pro terhadap Jepang dengan menghukum tanpa proses pengadilan. Hak asasi manusia pada masa pendudukan Jepang nyaris tidak berlaku. Berikut adalah hal – hal yang dilakukan Jepang untuk menarik simpati penduduk Indonesia :
Pada bidang ekonomi, kebijakan Jepang secara umum sama dengan negara imperialis lainnya. Melalui semboyan “Negara Makmur, Militer Kuat” Jepang memiliki tujuan menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis militer serta wilayah industri. Untuk itu, Jepang mulai mengeksploitasi segala sumber daya yang tersedia untuk kepentingan perang. Hal ini terlihat dari hal – hal berikut :
Selain perekonomian yang terpuruk akibat kebijakan ekonomi perang Jepang, pengerahan tenaga kerja melalui romusha juga berdampak negatif pada perkembangan sosial masyarakat Indonesia. Romusha dimobilisasi untuk pembangunan saran perang tidak hanya di Indonesia saja melainkan di Burma, Muangthai (Thailand), Vietnam dan Malaysia. Selain romusha, juga diterakpkan jugun ianfu yaitu merekrut para perempuan untuk dijadikan penghibur bagi tentara Jepang.
Selama pendudukan Jepang, kondisi pendidikan menurun drastis bila dibandingkan masa Hindia Belanda. Kegiatan perguruan tinggi juga sempat terhenti beberapa saat. Baru pada tahun 1943 pendidikan perguruan tinggi mulai dibuka kembali. Para pelajar diberikan slogan Hakko Ichiu, yang berarti Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap. Satu atap yang dimaksud adalah di bawah Kekaisaran Jepang. Ajaran Hakko Ichiu ditujukan sebagai doktrin dari pihak Jepang.
Meskipun kebijakan Jepang banyak yang negatif, terdapat beberapa kebijakan positif yang dapat dirasakan bangsa Indonesia, salah satu diantaranya adalah diharuskannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Selama masa penjajahan Jepang, Bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Selain itu, terbentuk sistem stratifikasi baru dari masa Hindia Belanda dimana pribumi menjadi golongan diatas bangsa Eropa dan Timur Asing.
Sebagai negara fasis, Jepang menerapkan disiplin yang tinggi. Jepang sangat hormat kepada kaisarnya. Hal inilah yang ingin diturunkan Jepang kepada bangsa Indonesia. Jepang mewajibkan rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sedalam – dalamnya ke arah matahari terbit atau dinamakan Seikeirei. Hal ini kemudian memunculkan protes pada 1944 oleh kalangan pesantren di Tasikmalaya. Pengaruh Jepang banyak terlihat pada lagu, film, drama, sebagai bentuk propaganda Jepang.
Pemerintah Jepang juga mendirikan pusat kebudayaan yang bernama Keimin Bunkei Shidoso sebagai wadah perkembangan kesenian Indonesia. Namun, organisasi ini dimanfaatkan Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan seniman agar karyanya tidak menyimpang dan melawan Jepang. Disisi lain, muncul buku – buku karya sastra yang dibiarkan berkembang karena tidak bertentangan dengan Jepang seperti Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar, Palawija karya Karim Halim, dan Angin Fuji karya Usmar Ismail. Sebaliknya, karya sastra yang bertentangan dengan Jepang dilarang dan penulisnya dimasukkan ke penjara seperti karya sastra Siap Sedia karya Chairil Anwar.