Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) memiliki peran penting dalam sejarah panjang revolusi Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. PDRI berdiri pada 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Berdirinya PDRI sebagai reaksi atas direbutnya Yogyakarta pada Agresi Militer Belanda II dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden.
PDR berdiri tidak lama setelah penguasaan Yogyakarta oleh Belanda pada Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada saat itu para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir ditangkap dan diasingkan Belanda ke luar Jawa. Praktis pemerintahan Republik Indonesia menjadi terhenti. Sebelum ditangkap, Soekarno dan Hatta telah memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan kemudian ditunjuk sebagai presiden untuk pemerintahan sementara di Bukittinggi pada 19 Desember 1948.
Setelah mengetahui ibu kota lumpuh, Syafruddin Prawiranegara beserta Kol. Hidayat, panglima tentara dan teritorium Sumatera mengunjungi Teuku Mohammad Haasan, Gubernur Sumatera untuk mengadakan perundingan. Selanjutnya mereka menuju Halaban, perkebunan teh berjarak 15 km di sebelah selatan Kota Payakumbuh untuk melakukan rapat dengan para tokoh pada 22 Desember 1948.
Pada pertemuan 22 Desember 1948 disepakati berdirinya PDRI sebagai pemerintahan sementara menggantikan Republik Indonesia yang dikuasai Belanda. Sejak saat itu PDRI menjadi musuh Belanda dan tokoh – tokoh PDRI diburu. Pola pemerintahan PDRI juga tidak terkonsentrasi di satu tempat saja karena menghindari serangan Belanda.
Peran PDRI dalam sejarah revolusi Indonesia sangat penting karena menjadi pengisi kekosongan pemerintahan selama Republik Indonesia dikuasai oleh Belanda. PDRI dianggap sebagai “Penyambung nyawa NKRI”. Berdirinya PDRI menjadi bukti bahwa Indonesia masih memiliki pemerintahan yang sah sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Masa pemerintahan PDRI berakhir ketika Perjanjian Roem – Royen disepakati pada 1 Juli 1949. Pada perjanjian tersebut semua tawanan politik yang ditawan oleh Belanda harus dibebaskan tanpa syarat dan dikembalikan ke Yogyakarta. Maka, pada tanggal 13 Juli 1949, Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Untuk mengenang jasa PDRI dalam mempertahankan kedaulatan RI, maka setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara (HBN).