Senin, 07 Jul 2025
  • Selamat Datang di Website Resmi SMAN 13 Semarang

CATATAN DARI RUMAH MODERASI

Oleh Hadi Siswanto

Hari kamis, 10 Maret 2022 Rumah Moderasi UIN Walisongo Semarang mengadakan Seminar Nasional “Moderasi Beragama” yang bekerjasama dengan AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia) DPD Kota Semarang. Bertempat di Ruang Amphitheater Gedung Rektorat Lt. 4  Kampus 3 UIN Walisongo Semarang. Pesertanya adalah Guru Agama Islam (GPAI) dari tingkatan Satuan Pendidikan baik Negeri dan Swasta se-Kota Semarang. Peserta dibatasi hanya berjumlah 95 orang, yang telah mendaftar sebagai peserta seminar terdiri dari GPAI TK ada 3 orang, GPAI SD 19 orang, GPAI SMP 32 orang, GPAI SMA 22 orang, GPAI SMK 5 orang, GPAI MTs 3 orang, dan GPAI MA 11 orang. Adapun pemateri seminar didatangkan dari kalangan akademisi. Antara lain Dr. Phil. Sahiron, MA (Pakar Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang memaparkan tentang Moderasi Beragama dalam perspektif Etiko-Teologi Islam, Dr. Misbah Zulfa Elizabeth, MA (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Walisongo Semarang) dengan paparan materi moderasi beragama dalam bingkai Politik Kebangsaan, dan Ruby Kholifah, M.Sc dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dengan materi Moderasi Beragama dalam perspektif Gender. Runtutan acara seminar yang berlangsung dari jam 08.30 hingga jam 12.30 dipandu oleh Elina Lestariyanti, M.Pd., Peneliti dan Trainer, Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo Semarang.

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan.  Keberadaannya tidak bisa dipungkiri dan  selalu ada dalam semua lini kehidupan. Hal ini mengacu pada Quran surat al Hujurat (49) ayat 13; Diciptakan manusia terdiri atas laki-laki dan wanita, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Laki-laki dan wanita memiliki perbedaan secara fisiologi dan emosional. Bangsa dan suku yang satu dengan lainnya juga memiliki perbedaan secara theologis, geografis, sosiologis, bahasa, budaya tradisi dan lain-lain. Mensikapi adanya perbedaan tersebut, diperlukan satu sikap mendasar yaitu lita’arofu (saling mengenal). Dengan mengenali perbedaan akan melahirkan sikap menghormati, menghargai antar sesama dan menghilangkan rasa ke-akuannya (ego).

Pakar Tafsir, Sahiron Syamsuddin, dalam paparan makalahnya menjelaskan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan prilaku beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawentahkan esensi ajaran agama, yang melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan umum, berdasarkan prinsip adil, berimbang dan mentaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Karakter kunci moderasi beragama adalah tawassuṭ (moderasi), tawāzun (keseimbangan), tasāmuḥ (toleransi), dan ta‘ādul (keadilan). Sedangkan indikator moderasi beragama, yaitu;  (1) Komitmen Kebangsaan: NKRI, Pancasila, Peraturan Perundangan yang berlaku, (2) sikap toleransi, (3) anti-kekerasan, dan (4) menghormati tradisi. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa sikap etiko-teologis (etika atas dasar kitab suci) moderasi beragama (al-Tawassuṭ fī al-Tadayyun) itu meliputi (1) keyakinan atau keimanan bahwa pencipta semua manusia dan alam semesta adalah Allah Swt. (2) Keberagaman manusia itu keniscayaan dan ketentuan/Takdir Allah Swt. (3) sikap ta‘āruf  atau saling mengenal & mengakui eksistensi perbedaan yang melekat pada orang lain sebagai konsekuensi logis (4) sikap tafāhum atau saling memahami antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu keharusan (5) sikap tasāmuḥ atau saling bertoleransi sebagai bentuk keterbukaan (6) sikap menghindari klaim kebenaran eksklusif sebagai tindakan antisipatif, (7) sikap ta‘ādul atau saling berbuat adil, tidak berbuat dolim kepada orang lain walaupun memiliki perbedaan dengan kita sebagai tindakan protektif,  (8) ta‘āwun atau saling menolong sebagai sikap konstruktif, dan binā’ al-Ṡaqāfah atau membangun peradaban Indonesia.

Dekan dan Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Walisongo Semarang, Zulfa Elizabeth, menjelaskan bahwa munculnya pengelompokan manusia karena adanya keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain, ingin menjadi satu dengan lingkungan alamnya, maka lahirlah apa yang dinamakan suku bangsa, ethnic group, ethnicity. Suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Cross-Cultural Communication; ciri-cirinya adanya komunikasi antar dua komunitas yang berbeda,  harus ada dalam persentuhan dua atau lebih budaya atau nilai, mencari common-ground, dan menepikan perbedaan serta kerjasama.

Moderasi beragama is a must atau suatu keharusan. Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.Dalam perspektif cross-cultural understanding konsep ini mengacu pada kesungguhan menjalankan agamanya sendiri, dan menghormati serta menghargai perbedaan dengan agama dan nilai-nilai lain.

Sementara Pemateri yang pernah menempuh pendidikan di Thailand, Ruby Kholifah, memaparkan tentang moderasi beragama dalam Perspektif Gender dan Inklusi Sosial. Moderasi beragama adalah sikap beragama yang seimbang (moderat) antara pengalaman agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan dalam praktik beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama (Moderasi Beragama, Kemenag, 2019). Agama dan cara beragama masyarakat Indonesia, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan. Keragaman suku, budaya, agama dan ekspresi keagamaan, tafsir agama, termasuk keragaman ekspresi gender adalah anugerah dan dikehendaki olehTuhan. Moderasi Beragama penting, karena  untuk menemukan titik tengah dari pandangan keagamaan ekstrem, untuk mencegah terjadinya konflik karena cara pandang keagamaan yang berbeda, untuk menjaga keutuhan Indonesia dimana kenyataan keragaman alam, budaya, agama dan tafsirnya adalah kekuatan besar untuk menjaga peradaban manusia.

Moderasi beragama dalam Perspektif Gender dan Inklusi Sosial dipandang sangat penting karena;

  1. Perempuan bukanlah entitas tunggal; perspektif interseksionalitas mengupas lapis-lapis identitas pada perempuan ; Suara perempuan menjadi basis analisis kebijakan dan tafsir agama yang lebih ramah perempuan.
  2. Partisipasi perempuan secara subtansial penting untuk mempengaruhi kebijakan atau produksi tafsir agama yang lebih manusiawi; Perempuan tidak hanya dihadirkan, tapi didengarkan, dan diadopsi dan dijalankan aspirasinya.
  3. Penyelewengan tafsir agama dan kebijakan berdampak pada kekerasan berbasis gender dan seksual (perempuan) ; Perlindungan korban dan penanganan korban secara jangka panjang tanggungjawab negara dan masyarakat
  4. Mengenali perempuan sebagai agensi yang telah berkontribusi dan strategis menjadi partner dalam mendorongkan moderasi beragama.

Anggapan dirinya paling benar, dan memandang orang lain tidak benar dan bukan bagian dari kelompok dirinya adalah sikap cara pandang yang salah. Pengakuan tentang ke-aku-an dan dan tidak mengakui keberadaan dan perbedaan yang dimilki orang lain bukan bagian dari indikasi sikap moderasi beragama. Argumentasi secara tekstual moderasi beragama sudah sangat gamblang dijelaskan secara tersurat dan tersirat dalam al Quran dan sunnah Nabi. Di dalam al Quran bisa dilihat dalam Q. 1:5 (al-ṣirāṭ al-mustaqīm) (Lihat al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, 1: 258), Q. 2:143 (ummat wasaṭ) (Lihat al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, 2:627), Q. 49:13 (ta‘āruf) (Lihat al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, 28: 136), Q. 2:111-113 (anti-klaim kebenaran eksklusif) (Lihat al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, 2:431-435), Q. 5:48 (pluralitas agama) (Lihat Ibn Kaṡīr, Tafsīr, 5: 249), Q. 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama). Sedangkan dalam Sunnah Nabi bisa dibaca dalam piagam Madinah pasal 25; Medinan Charter” of 622 M. Article 30:Guarantee of freedom of religion for both the Muslims and non-Muslim minorities (the Jews) “The Jews of Banu Awf (non-Muslim minorities) shall be considered a community along with the believers. They shall be guaranteed the right of religious freedom along with the Muslims. The right shall be conferred on their associates as well as themselves except those who are guilty of oppression or the violators of treaties. They will bring evil only on themselves and their family.” (kaum Yahudi dan Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. `Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu  sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga).

Wallaahu a’lam bish showab.

Arah jarum jam; Bu Ruby (narsum), bu Zulfa(narsum), pak Sahiron(narsum), Bu Elina (moderator)
Civitas Akademika UIN, Nara sumber dan peserta seminar

Post Terkait

0 Komentar

KELUAR